Mo: It was you, who travelled the time. I saw you in Esplanade, juga di Belanda.
Mon: Aku di sini saja. Nggak kemana-mana... Bagus juga kamu tinggalin biji asam itu. Ada yang tumbuh. Bisa jadi peneduh kalau aku lagi berdiri di sini melihat laut dan mengawasi anak-anak bermain.
Mo: Tapi wajah itu wajahmu. Aku tidak bisa menangkap gerak bibirmu tapi aku bisa mendengar suaramu. Seperti berbisik di samping telingaku.
Mon: Kamu terlalu banyak minum mungkin....
Mo: Your soul have travelled that far. Seperti yang dilakukan mereka dulu sekali. Berkelana jiwanya menembus batas ruang dan waktu. melihat kehidupan lain dan mengambil yang baik. Badan tetap diam bersama tanah yang dipijak. Kamu harus ajarin aku itu.
Mon: Hahahha... kamu ngelantur.. Kamu lagi capek. Kita pulang yah... Sebentar lagi malam. Anak-anak juga sudah mulai kedinginan...
Monca menarik lembut tangan Mone. Mone bisa merasakan Monca meremas lembut dan tidak dilepas. Ia mengurungkan niatnya melanjutkan pertanyaannya.
Mereka berjalan menuruni bukit Wadu Ntanda Rahi menuju perkampungan. Anak-anak di depan mereka berlari kecil sambil sesekali mencuri pandang ke Mone dan Monca.
Mone menarik nafasnya lega. Begitu banyak pertanyaan tersisa dalam dadanya. Begitu banyak perasaan yang belum terungkap di kepalanya. Tapi semuanya hilang. Hanya kehangatan yang masih terus dia rasakan.
Tangan Monca masih saja menggenggam tangannya. Tidak perlu lagi semua tanya itu.
24 Februari 2007
Labels: Kanja